Jumat, 05 Juni 2009

Kereta Api Pernah Eksis di Pekanbaru


Wahai kusuma bangsa. Anda diboyong Jepang penguasa bekerja, bekerja dan bekerja. Nasibmu dihina papa, jasamu tak kulit terurai tulang. Di sini anda rehat bersama tanpa tahu keluarga. Tak ada nama dan upacara, namun jasamu dikenang bangsa. Andalah pahlawan kerja. Ya Allah keharibaan-Mu kami persembahkan mereka, ampunilah, rahmatilah mereka.

Kata-kata tersebut tertera pada sebuah monumen di kawasan Simpang Tiga, Pekanbaru yang ditandatangani Gubernur KKDH TK I Riau, R H Soebrantas Siswanto tanggal 10 November 1978. Sekilas memandang dari pinggir Jalan Kaharuddin Nasution tersebut monumen tidak kelihatan. Karena tertutup illalang dan padang rumput yang tinggi.
Dari depan komplek perkuburan yang ada monumen itu terdapat dua plang nama. Plang papan pertama bertuliskan Makam Pahlawan Kerja dan palang kedua bertulis Partai Buruh. Sepintas orang tidak akan menyangka di komplek perkuburan yang berdampingan dengan perkuburan masyarakat umum itu, terdapat makam para pahlawan yang disebut Pahlawan Kerja.
Lokasinya tidak terawat, rumput dan ilalang tumbuh lebih tinggi dari kuburan, bahkan monumen batu itu juga mulai tertutup rimbunnnya ilalang. Sementara di bagian belakang yang lebih tinggi terdapat gerbong kereta api yang juga mulai digerogoti semak belukar. Di atas gerbong bersejarah itu terdapat satu bendera merah putih tidak terlalu besar.
Pahlawan kerja ini berkaitan dengan korban Romusha (kerja paksa) zaman Jepang ketika membangun rel kereta api dari Pekanbaru ke Muara Sijunjung (Sumatera Barat). Sebagian masyarakat Riau, khususnya Pekanbaru mungkin belum mengetahui dulu pernah ada lintasan kereta api yang menghubungkan Pekanbaru dengan Muara Sijunjung.
Monumen, makam dan gerbong kereta api di Simpang Tiga ini menjadi saksi kereta api pernah eksis di Riau zaman penjajahan Jepang. Pembangunannya mengorbankan puluhan ribu masyarakat Indonesia yang dipekerjakan secara paksa. Dalam buku karya HM Syafei Abdullah berjudul Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api, tercatat 150 korban romusha dikubur massal di Simpang Tiga ini.
Syafei Abdullah yang juga saksi dari kekejaman romusah Jepang mencatat panjang lintasan Muara Sijunjung sampai ke Pekanbaru 238 kilometer. Lama pembangunan lebih kurang 25 bulan (1943-1945). Jumlah bedeng atau bangsal tempat tinggal romusha sekitar 600 buah, tiap-tiap satu bedeng dihuni 250 sampai 500 orang.
Para Romusha ini didatangkan militer Jepang dari Pulau Jawa dan warga Sumatera, termasuk Riau. Mereka dipekerjakan secara paksa tanpa diberi waktu istirahat dan makanan yang cukup. Hal ini lah yang menyebabkan romusha banyak yang mati kelaparan dan disiksa tentara Jepang. Romusha yang meninggal tidak dikuburkan dengan layak, melainkan ditimbun secara massal. Bahkan yang masih sekarat pun dikubur hidup-hidup.
Kurangnya ransum makanan yang diberikan Jepang, memaksa beberapa romusha melarikan diri, melalui rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia. Lokasi pembangunan rel kereta api ini dari Pekanbaru hingga ke Muara Sijunjung, jauh dari pemukiman warga. Para romusha tidak hanya berhadapan dengan tentara Jepang yang kejam tapi juga binatang buas.
Dalam pelariannya, kebanyakan romusha menemui ajal di hutan belantara. Karena tidak cukup bekal makanan atau diserang binatang buas. Terlebih bagi romusha dari Pulau Jawa yang tidak mengenal jalan pulang. Sedangkan romusha asal Riau banyak yang selamat dalam pelarian karena mengetahui jalan pintas.
Bagi romusha ketika itu, berprinsip lebih baik mati di belantara hutan daripada menahan siksa tentara Jepang yang tidak henti-hentinya. Hingga Indonesia merdeka tahun 1945, bekas romusha masih ada yang meninggal dunia akibat sakit parah yang mereka derita selama kerja paksa tersebut.
Jalan kereta api maut yang mengorbankan ratusan ribu jiwa tersebut akhirnya selesai awal tahun 1945. Untuk pertama kali dilalui kereta api model kuno yang mempregunakan bahan bakar kayu atau batubara pada Februari 1945. Pada pagi hari, kereta api itu berangkat dari Muaro Sijunjung menuju Pekanbaru.
Ditumpangi serdadu Jepang, masinisnya orang Indonesia bernama Yahya (menetap di Rumbai, Pekanbaru) cemas melewati rel yang dibangun romusha. Karena bantalannya terbuat dari kayu, begitu juga jempatan dari kayu yang tidak kuat menahan berat gerbong. Akhirnya jembatan- jembatan lintasan rel kereta api itu runtuh dan gagal diperbaiki tentara Jepang karena sudah takluk dari Sekutu.
Kereta api yang terakhir terdapat di Tanjung Rhu (Pekanbaru) dan tidak dapat lagi kembali ke daerah asalnya, Muaro Sijunjung. Sebagian gerbong kreta api tersebut diabadikan bersama monumen dan kuburan massal bekas romusha di Simpang Tiga. Sebagian lagi dipreteli warga, dijual perkilo, termasuk rel kereta api yang sudah dibangun.


Kini yang ada hanya onggokan kuburan dan perghargaan masyarakat Indonesia khususnya Mantan Gubernur Riau Soerbrantas Siswanto berupa monumen yang ditulis dalam bentuk puisi di sebuah batu. Setelah itu, tidak ada lagi yang peduli dengan mereka. Tepat seperti yang diungkapkan bait pusis pada monumen Pahlawan Kerja, Di sini anda rehat bersama, tanpa tahu keluarga, tak ada nama dan upacara.
"Instansi terkait harusnya membersihkan makam pahlawan kerja tersebut. Mereka adalah pejuang bangsa yang menjadi korban penjajah Jepang. Hanay dalam bentuk itulah kita menghargai jasa mereka," ujar Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Riau Prof Suwardi,MS.

Semak ilalang dibiarkan tumbuh menutupi makam-makam tua dan gerbong saksi sejarah kekejaman penjajah Jepang yang akan tercacat dalam sejarah bangsa dan selalu dikenang, meskipun kuburan mereka tak dirawat. Mengutip perkataan Mantan Presiden RI pertama, Ir Soekarno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan". Apakah kita termasuk orang yang menghargai jasa pahlawan? (Ihsanul Hadi)

1 komentar:

  1. as... saya aang mahasiswa unri. maaf kalau tak keberatan, bisakah saya pinjam artikel atau naskah yang berhubungan dengan naskah ini??? untuk bahan liputan di koran kami: Bahana Mahasiswa.

    BalasHapus