Jumat, 05 Juni 2009

289 Suara Bisa Duduk di DPR

MUNGKIN bagi seorang Darnil, caleg Partai Hanura Dapil 1 Kota Pekanbaru tidak akan menyangka dengan mengandalkan perolehan suara di Pemilu 9 April lalu sebanyak 289, bakal melenggang ke Gedung DPRD Kota Pekanbaru. Pasalnya caleg partai lain yang mengantongi seribuan suara bahkan mencapai dua ribu suara tidak lolos menjadi anggota dewan.
Tapi itulah kenyataan yang terjadi di Pemilu 2009. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI yang menggunakan sistem suara terbanyak sebagai patokan menjadi anggota dewan, membawa berkah bagi Darnil. Ya, caleg nomor urut 7 ini merupakan caleg terpilih untuk menduduki satu kursi di Balai Payung Payung Sekaki, sebutan Gedung DPRD Kota Pekanbaru, dengan perolehan suara terkecil dibandingkan caleg terpilih lainnya.
Lain cerita dengan Karmila Dharma Santi yang meraup jumlah suara terbanyak di antara caleg terpilih lainnya. Caleg Partai Demokrat dari Dapil 3 Pekanbaru ini mengantongi 4.769 suara. Karmila jauh mengungguli caleg terpilih lainnya yang rata-rata mengantongi dua ribuan dan seribuan suara.
Meski sebagai 'pemain baru', Karmila ternyata mampu mengambil hati masyarakat Kota Pekanbaru sehingga mendapatkan suara yang signifikan. Faktor partai politik yang menjadi kendaraan caleg sangat menentukan perolehan kursi DPRD. Bagi partai besar seperti Demokrat, Golkar, PKS, PAN dan PPP plus dua partai pendatang baru yang langsung populer, Gerindra dan Hanura. Tidak terlalu sulit mendapat jatah kursi di dewan.
Tinggal persaingan antar caleg dalam satu partai yang menentukan terpilih atau tidak. Seperti yang terjadi pada Darnil. Perolehan suara partainya di daerah pemilihan mampu mendapatkan satu kursi, kemudian baru dihitung perolehan suara caleg. Siapa yang terbanyak, itulah yang mengisi jatah kursi tersebut.
"Nomor urut caleg tidak lagi jadi patokan, tapi siapa yang terbanyak itulah yang mendapat jatah kusri, setelah suara partai dihitung dan ditentukan jatah kursinya. Inilah berkah dari keputusan MK tentang suara terbanyak," ujar Anggota KPU Kota Pekanbaru, Fachri Yasin, Kamis (14/5).
KPU Kota Pekanbaru baru melakukan penetapan perolehan suara dan caleg terpilih Sabtu (16/5) ini di Hotel Aryaduta, namun dari penghitungan Tribun, sebanyak 45 anggota DPRD yang terpilih sudah dapat diketahui, berdasarkan hasil pleno KPU Kota Pekanbaru pada 21 April lalu dan perbaikaan suara caleg pada 2 Mei yang dilakukan Tim Pencari Fakta (TPF) KPU Kota Pekanbaru.
Hanya saja Pemilu 2009 khusus Kota Pekanbaru, tidak berpihak pada kaum perempuan. Keterwakilan perempuan di DPRD Kota Pekanbaru periode 2009-2014 hanya 7 orang dari 45 anggota. Artinya hanya 15 persen, masih jauh dari kurang untuk memenuhi amanat Undang- Undang sebanyak 30 persen. "Sepertinya kaum perempuan belum mampu memenuhi kuota 30 persen tersebut. Tapi inilah hasil Pemilu, rakyat yang menentukan," tutur Fachri yang juga mantan dekan Fakultas Pertanian Universitas Riau ini.
Tapi siapapun yang terpilih, bukan berarti harus berleha-leha di gedung dewan. Bekerja hanya untuk kepentingan sendiri dengan tujuan mengembalikan dana yang habis ketika Pemilu. Ingat, anggota dewan adalah amanah rakyat, jangan sampai amanah itu dikhianati. Karena bisa membuat rakyat marah. Seperti kata-kata orang bijak, suara rakyat adalah suara tuhan!. (Ihsanul Hadi)

Anak-Anak Kami Banyak Putus Sekolah

Tulisan ini saya buat Maret 2008 dan diterbitkan di Tribun Pekanbaru. Meski sudah lama berlalu namun kondisi Kecamatan Bonai Darussalam sampai sekarang tidak banyak berobah..

Pandangan Abbas tertuju pada papan tulis hitam di depan kelasnya. Seorang guru yang mengajar di SD N Desa Pauh, Kecamatan Bonai Darussalam, Rokan Hulu tersebut sedang mengajarkan pelajaran matematika. Menggunakan alat tulis kapur putih, ia sibuk menjelaskan materi pelajaran kepada Abbas dan sekitar 20 siswa lainnya yang duduk di kelas empat itu. Baju seragam pramuka, pakain wajib setiap hari Sabtu, yang dipakai Abbas terlihat kremuk dan terkesan kumuh, bahkan di sekolahnya tanpa mengenakan sepatu.

Begitulah kehidupan sehari-hari siswa di sekolah negeri yang di bangun PT CPI tahun 2005 tersebut. Dulu, sebelum Desa Pauh masuk wilayah Rokan Hulu, sekolah itu bernama SDN 008 Libo Pauh, Kabupaten Siak. Bahkan sampai sekarang plang nama sekolah yang dibuat Dinas Pendidikan Kabuapten Siak itu masih berdiri di pagar depan sekolah.

Di Desa Pauh yang berpenduduk sekitar 5000 jiwa atau 695 kepala keluarga hanya terdapat satu Sekolah Dasar Negeri. Kondisinya cukup memprihatinkan, bangku dan meja belajar banyak yang patah. Lantai dan loteng kelas juga berlubang. Anak-anak Suku Bonai dan Sakai yang sekolah di sini juga masih ada yang tidak pakai sepatu.

"Sekolah ini satu-satunya harapan kami untuk mencerdaskan anak-anak. Untuk melanjutkan sekolah tidak ada lagi. SMP lokasinya jauh, yang ada cuma di Kandis dan di Sontang, jarak tempuhnya butuh waktu lebih dari dua jam. Banyak anak-anak kami yang putus sekolah," tutur Agusman.

Beberapa waktu lalu, ketika Bupati Rokan Hulu, Ahmad berkujung ke desa ini pernah menjanjikan membangun SMP. Warga desa pun bersedia menyediakan lahan seluas 1 hektare untuk bangunan sekolah. Namun sampai sekarang janji tersebut belum juga direalisasikan. Karena lokasi sekolah lanjutan jauh, banyak warga yang tidak terlalu peduli dengan pendidikan.

Untuk mencapai Desa Pauh, salah satu jalan yang bisa dilewati dari Kandis, Kecamatan Siak, terus menyusuri jalan yang dibangun PT CPI. Butuh waktu sekitar satu setengah jam menuju desa yang berada di tengah-tengah tiga kabupaten ini, Siak, Kampar dan Rokan Hulu. Padahal jarak antara Kandis dan Desa Pauh hanya 28 kilometer, namun karena kondisi jalan berlubang dan sebagian aspal sudah terkelupas sehingga laju kendaraan hanya 40 km/jam.

Sebelum masuk Desa Pauh, di pintu masuk terdapat gapura yang bertuliskan, Selamat Datang di Desa Pauh, Kecamatan Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu. Menurut warga setempat, gapura ini dibangun oleh masyarakat sebagai bentuk pemberitahuan keinginan masyarakat bergabung dengan Rokan Hulu. Sebab desa ini merupakan daerah perbatasan yang diperebutkan tiga kabupaten, Kampar, Siak dan Rokan Hulu.

Bukan tanpa alasan kenapa Desa Pauh begitu primadona. Daerah ini merupakan kawasan ladang sumur minyak milik PT CPI. Data dari Kantor Desa Pauh, terdapat sekitar 90 sumur minyak. Sedangkan sumbangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahun sekitar Rp 150 juta.

Kultur masyarakat di Pauh yang di dominasi Suku Bonai dan Suku Sakai menyebabkan mereka memilih bergabung dengan Kecamatan Bonai Darussalam. Meskipun jarak ke ibukota kecamatan 60 kilometer yang ditempuh dengan jalan tanah sekitar 4 jam. "Antara masyarakat Pauh dan Bonai tidak bisa dipisahkan, makanya kami lebih memilih Rokan Hulu dan ini merupakan kesepakatan semua warga," ujar Kepala Desa Pauh, Agusman. (Ihsanul Hadi)

Disinilah Kami Menempa Santri

Catatan ini saya tulis dan diterbitkan di Tribun Pekanbaru pada Februari 2008..Meski cukup lama, tapi kondisi pesantren sampai sekarang belum berobah..

Di dusun terpencil, Kuntu Darussalam, Kecamatan Kampar Kiri terdapat sebuah pesantren tua yang berusia 37 tahun. Kondisinya sangat memprihatinkan. Satu-satunya ruangan belajar, (sebelum dibangun tambahan ruangan baru-baru ini) tidak layak lagi sebagai tempat menempa calon-calon pemimpin agama Islam ini.
Pesantren ini diberi nama Salafiah Syeh Burhanuddin yang didirikan Tengku Muda Djamarin tahun 1971. Lulusannya banyak yang menjadi ulama-ulama terkenal di wilayah Kampar Kiri, bahkan di luar Riau. Karena para santrinya tidak hanya dari wilayah sekitar tapi juga dari Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi dan lain-lain.
Lebih parahnya, gubuk-gubuk tempat tinggal santri yang mereka sebut asrama, tak ubahnya seperti kandang kambing. Sebanyak 60 gubuk tersebut, terbuat dari papan dan beratap seng tanpa loteng. Bercat warna putih dengan kondisi mulai lapuk. Ukurannya sekitar 1,5 X 1,5 meter, ditempati dua sampai empat santri satu gubuk. Di sinilah para santri, tidur, memasak dan belajar di bawah penerangan lampu teplok pada malam hari.
Gubuk-gubuk itu berbanjar di antara rumah pemilik pesantren. Di sisi kiri merupakan gubuk santri laki-laki dan di sisi kanan gubuk santri perempuan yang dipisahkan beberapa kolam ikan.
"Dengan semua kesederhanaan dan kekurangan, disinilah kami menempa santri. Supaya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat," Wakil Pimpinan Pesantren Syeh Burhanudin yang juga anak kedua pendiri pesantren ini, Ahmad Qusyairi Jumat (15/2) lalu.
Para santri yang berjumlah 350 orang, memang berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka tidak dipungut bayaran menuntut ilmu di pesantren ini. Kecuali makan yang ditanggung sendiri, biasanya dikirim orang tua dari kampung masing-masing. Untuk menutupi biaya operasional pesantren, pengurus mengandalkan sumbangan alumninya yang sudah bekerja. Namun bantuan itu pun tak selalu ada.
Para guru yang mengajar, merupakan orang-orang yang ikhlas tidak diberikan bayaran. Mereka juga alumni pesantren ini. Namun sekarang tidak banyak lagi guru yang mengajar karena tidak adanya kesejahteraan, serta banyak yang kembali ke kampung halamannya. "Dulu kami berkebun jeruk di sekitar pesantren, tapi sekarang tidak ada lagi, karena tidak ada modal," kata Ahmad.
Pesantren yang mendidik anak kurang mampu ini, mengajarkan ilmu agama dan keahlaian lainnya untuk bertahan hidup, membutuhkan uluran tangan pemerintah dan masyarakat yang peduli pendidikan. Membangun ruangan belajar dan asrama santri. Karena keberadaan pesantren ini cukup terkenal di wilayah Kampar Kiri. Namun fasilitasnya kurang memadai. (Ihsanul Hadi)

Di mana Markas PSPS?


TINGGAL selangkah lagi tim sepakbola kebanggaan masyarakat Riau, khususnya Kota Pekanbaru masuk sebagai peserta Indonesia Super League (ISL), kompetisi bergengsi pada level tertinggi di tanah air. Masuk semi final Liga Utama Indonesia, PSPS hanya butuh dua kali menang untuk memastikan satu tiket ke ISL.
Meski tiga kontestan lain yang masuk semifinal bukan tim kacangan. Namun diperkirakan anak asuh Abdur Rahman Gurning ini dapat mengatasinya. Mengingat, PSPS tanpa pemain bintang mampu bercokol di puncak klasemen wilayah I beberapa saat, sebelum akhirnya direbut Persisam Samarinda.
Tiga kandidat lainnya memang berambisi untuk menembus level ISL. Persebaya, Persema Malang dan Persisam yang memiliki pemain-pemain nasional. Namun bukan tidak mungkin Dedi Gusmawan Cs dapat mengalahkan tim-tim tersebut. Jika pun harus mengisi posisi buncit peraih poin dalam partai semi final, PSPS masih berpeluang masuk ISL melalui babak play off.
Rasanya tidak akan sia-sia perjuangan Agusrianto dan kawan-kawan untuk mewujudkan mimpi masyarakat pecinta bola Bumi Lancang Kuning supaya PSPS bermain di level ISL. Rasa optimis ini juga diusung Dzumafo Herman Cs untuk lolos ke ISL.
Namun dibalik rasa optimis dan kondisi yang memungkinkan PSPS masuk ISL, timbul satu pertanyaan, jika lolos ISL, dimana PSPS akan membuat mess dan lapangan mana yang akan dipakai? Sesuai dengan persyaratan Badan Liga Indonesia (BLI), peserta ISL wajib memiliki kandang (lapangan) standar.
Lapangan sepakbola yang memiliki segala kelengkapan yang diperlukan. Seperti memiliki lampu sorot untuk bermain malam, ruang ganti pemain yang layak dan sebagainya. Di Riau, lapangan seperti itu belum ada. Stadion Rumbai yang menjadi kebanggaan masyarakat Kota Bertuah, masih berada pada kategori B, hasil verifikasi BLI beberapa waktu lalu.
"Sebenarnya jika Stadion Rumbai diserahkan Pemprov pengelolaannya kepada Pemko, bisa diperbaiki menjadi kategori A. Namun tetap saja butuh biaya besar dan tak mungkin dalam waktu dekat untuk memperbaikinya," ujar Manajer PSPS Pekanbaru, Dastrayani Bibra dalam satu kesempatan.
Memang sebagai tuan rumah PON 2012, Riau bakal diuntungkan dengan pembangunan sejumlah venue-venue olahraga. Bahkan direncanakan di Pekanbaru bakal dibangun stadion utama yang memiliki kapasitas 45 ribu penonton. Stadion tersebut diperkirakan bakal menjadi landmark baru di Kota Bertuah yang patut dibanggakan. Namun pembangunan itu baru sebatas rencana dan baru selesai paling cepat tahun 2011. Sementara PSPS Pekanbaru tahun ini juga butuh satu markas yang memadai.
Beberapa waktu lalu sempat muncul wacana, PSPS akan menggunakan Stadion Jaka Baring sebagai home base. Stadion kebanggaan masyarakat Kota Palembang tersebut memang dinilai layak dan memenuhi standar BLI. Sehingga PSMS Medan pun bermarkas di stadion eks PON 2004 ini.
Sah-sah saja jika PSPS akhirnya terpaksa memilih home base di luar Kota Pekanbaru. Dan dalam aturan BLI hal itu diperbolehkan. namun sangat disayangkan, jika ribuan suporter fanatik Askar Bertuah, sebutan PSPS, bakal tidak bisa menyaksikan secara langsung setiap pertandingan. Padahal keberadaan PSPS sebagai peserta liga atau kompetisi level tertinggi di tanah air, merupakan hiburan, untuk menghilangkan stress di tengah himpitan ekonomi yang melanda bangsa ini.
Akankah bermanfaat lagi kucuran dana APBD untuk membiayai tim kebanggaan masyarakat Riau tersebut? Padahal tujuan bantuan itu supaya masyarakat bisa menikmati setiap pertandingan PSPS. Jawabannya, terganting kebijaksanaan pengurus dan manajemen PSPS serta perhatian Pemerintah Daerah untuk mencarikan solusi lapangan yang laik dan memenuhi standar BLI. Sehingga masyarakat tidak kecewa dan kucuran dana APBD untuk PSPS dapat dirasakan manfaatnya secara bersama. (Ihsanul Hadi)

Kereta Api Pernah Eksis di Pekanbaru


Wahai kusuma bangsa. Anda diboyong Jepang penguasa bekerja, bekerja dan bekerja. Nasibmu dihina papa, jasamu tak kulit terurai tulang. Di sini anda rehat bersama tanpa tahu keluarga. Tak ada nama dan upacara, namun jasamu dikenang bangsa. Andalah pahlawan kerja. Ya Allah keharibaan-Mu kami persembahkan mereka, ampunilah, rahmatilah mereka.

Kata-kata tersebut tertera pada sebuah monumen di kawasan Simpang Tiga, Pekanbaru yang ditandatangani Gubernur KKDH TK I Riau, R H Soebrantas Siswanto tanggal 10 November 1978. Sekilas memandang dari pinggir Jalan Kaharuddin Nasution tersebut monumen tidak kelihatan. Karena tertutup illalang dan padang rumput yang tinggi.
Dari depan komplek perkuburan yang ada monumen itu terdapat dua plang nama. Plang papan pertama bertuliskan Makam Pahlawan Kerja dan palang kedua bertulis Partai Buruh. Sepintas orang tidak akan menyangka di komplek perkuburan yang berdampingan dengan perkuburan masyarakat umum itu, terdapat makam para pahlawan yang disebut Pahlawan Kerja.
Lokasinya tidak terawat, rumput dan ilalang tumbuh lebih tinggi dari kuburan, bahkan monumen batu itu juga mulai tertutup rimbunnnya ilalang. Sementara di bagian belakang yang lebih tinggi terdapat gerbong kereta api yang juga mulai digerogoti semak belukar. Di atas gerbong bersejarah itu terdapat satu bendera merah putih tidak terlalu besar.
Pahlawan kerja ini berkaitan dengan korban Romusha (kerja paksa) zaman Jepang ketika membangun rel kereta api dari Pekanbaru ke Muara Sijunjung (Sumatera Barat). Sebagian masyarakat Riau, khususnya Pekanbaru mungkin belum mengetahui dulu pernah ada lintasan kereta api yang menghubungkan Pekanbaru dengan Muara Sijunjung.
Monumen, makam dan gerbong kereta api di Simpang Tiga ini menjadi saksi kereta api pernah eksis di Riau zaman penjajahan Jepang. Pembangunannya mengorbankan puluhan ribu masyarakat Indonesia yang dipekerjakan secara paksa. Dalam buku karya HM Syafei Abdullah berjudul Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api, tercatat 150 korban romusha dikubur massal di Simpang Tiga ini.
Syafei Abdullah yang juga saksi dari kekejaman romusah Jepang mencatat panjang lintasan Muara Sijunjung sampai ke Pekanbaru 238 kilometer. Lama pembangunan lebih kurang 25 bulan (1943-1945). Jumlah bedeng atau bangsal tempat tinggal romusha sekitar 600 buah, tiap-tiap satu bedeng dihuni 250 sampai 500 orang.
Para Romusha ini didatangkan militer Jepang dari Pulau Jawa dan warga Sumatera, termasuk Riau. Mereka dipekerjakan secara paksa tanpa diberi waktu istirahat dan makanan yang cukup. Hal ini lah yang menyebabkan romusha banyak yang mati kelaparan dan disiksa tentara Jepang. Romusha yang meninggal tidak dikuburkan dengan layak, melainkan ditimbun secara massal. Bahkan yang masih sekarat pun dikubur hidup-hidup.
Kurangnya ransum makanan yang diberikan Jepang, memaksa beberapa romusha melarikan diri, melalui rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia. Lokasi pembangunan rel kereta api ini dari Pekanbaru hingga ke Muara Sijunjung, jauh dari pemukiman warga. Para romusha tidak hanya berhadapan dengan tentara Jepang yang kejam tapi juga binatang buas.
Dalam pelariannya, kebanyakan romusha menemui ajal di hutan belantara. Karena tidak cukup bekal makanan atau diserang binatang buas. Terlebih bagi romusha dari Pulau Jawa yang tidak mengenal jalan pulang. Sedangkan romusha asal Riau banyak yang selamat dalam pelarian karena mengetahui jalan pintas.
Bagi romusha ketika itu, berprinsip lebih baik mati di belantara hutan daripada menahan siksa tentara Jepang yang tidak henti-hentinya. Hingga Indonesia merdeka tahun 1945, bekas romusha masih ada yang meninggal dunia akibat sakit parah yang mereka derita selama kerja paksa tersebut.
Jalan kereta api maut yang mengorbankan ratusan ribu jiwa tersebut akhirnya selesai awal tahun 1945. Untuk pertama kali dilalui kereta api model kuno yang mempregunakan bahan bakar kayu atau batubara pada Februari 1945. Pada pagi hari, kereta api itu berangkat dari Muaro Sijunjung menuju Pekanbaru.
Ditumpangi serdadu Jepang, masinisnya orang Indonesia bernama Yahya (menetap di Rumbai, Pekanbaru) cemas melewati rel yang dibangun romusha. Karena bantalannya terbuat dari kayu, begitu juga jempatan dari kayu yang tidak kuat menahan berat gerbong. Akhirnya jembatan- jembatan lintasan rel kereta api itu runtuh dan gagal diperbaiki tentara Jepang karena sudah takluk dari Sekutu.
Kereta api yang terakhir terdapat di Tanjung Rhu (Pekanbaru) dan tidak dapat lagi kembali ke daerah asalnya, Muaro Sijunjung. Sebagian gerbong kreta api tersebut diabadikan bersama monumen dan kuburan massal bekas romusha di Simpang Tiga. Sebagian lagi dipreteli warga, dijual perkilo, termasuk rel kereta api yang sudah dibangun.


Kini yang ada hanya onggokan kuburan dan perghargaan masyarakat Indonesia khususnya Mantan Gubernur Riau Soerbrantas Siswanto berupa monumen yang ditulis dalam bentuk puisi di sebuah batu. Setelah itu, tidak ada lagi yang peduli dengan mereka. Tepat seperti yang diungkapkan bait pusis pada monumen Pahlawan Kerja, Di sini anda rehat bersama, tanpa tahu keluarga, tak ada nama dan upacara.
"Instansi terkait harusnya membersihkan makam pahlawan kerja tersebut. Mereka adalah pejuang bangsa yang menjadi korban penjajah Jepang. Hanay dalam bentuk itulah kita menghargai jasa mereka," ujar Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Riau Prof Suwardi,MS.

Semak ilalang dibiarkan tumbuh menutupi makam-makam tua dan gerbong saksi sejarah kekejaman penjajah Jepang yang akan tercacat dalam sejarah bangsa dan selalu dikenang, meskipun kuburan mereka tak dirawat. Mengutip perkataan Mantan Presiden RI pertama, Ir Soekarno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan". Apakah kita termasuk orang yang menghargai jasa pahlawan? (Ihsanul Hadi)