Jumat, 05 Juni 2009

Disinilah Kami Menempa Santri

Catatan ini saya tulis dan diterbitkan di Tribun Pekanbaru pada Februari 2008..Meski cukup lama, tapi kondisi pesantren sampai sekarang belum berobah..

Di dusun terpencil, Kuntu Darussalam, Kecamatan Kampar Kiri terdapat sebuah pesantren tua yang berusia 37 tahun. Kondisinya sangat memprihatinkan. Satu-satunya ruangan belajar, (sebelum dibangun tambahan ruangan baru-baru ini) tidak layak lagi sebagai tempat menempa calon-calon pemimpin agama Islam ini.
Pesantren ini diberi nama Salafiah Syeh Burhanuddin yang didirikan Tengku Muda Djamarin tahun 1971. Lulusannya banyak yang menjadi ulama-ulama terkenal di wilayah Kampar Kiri, bahkan di luar Riau. Karena para santrinya tidak hanya dari wilayah sekitar tapi juga dari Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi dan lain-lain.
Lebih parahnya, gubuk-gubuk tempat tinggal santri yang mereka sebut asrama, tak ubahnya seperti kandang kambing. Sebanyak 60 gubuk tersebut, terbuat dari papan dan beratap seng tanpa loteng. Bercat warna putih dengan kondisi mulai lapuk. Ukurannya sekitar 1,5 X 1,5 meter, ditempati dua sampai empat santri satu gubuk. Di sinilah para santri, tidur, memasak dan belajar di bawah penerangan lampu teplok pada malam hari.
Gubuk-gubuk itu berbanjar di antara rumah pemilik pesantren. Di sisi kiri merupakan gubuk santri laki-laki dan di sisi kanan gubuk santri perempuan yang dipisahkan beberapa kolam ikan.
"Dengan semua kesederhanaan dan kekurangan, disinilah kami menempa santri. Supaya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat," Wakil Pimpinan Pesantren Syeh Burhanudin yang juga anak kedua pendiri pesantren ini, Ahmad Qusyairi Jumat (15/2) lalu.
Para santri yang berjumlah 350 orang, memang berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka tidak dipungut bayaran menuntut ilmu di pesantren ini. Kecuali makan yang ditanggung sendiri, biasanya dikirim orang tua dari kampung masing-masing. Untuk menutupi biaya operasional pesantren, pengurus mengandalkan sumbangan alumninya yang sudah bekerja. Namun bantuan itu pun tak selalu ada.
Para guru yang mengajar, merupakan orang-orang yang ikhlas tidak diberikan bayaran. Mereka juga alumni pesantren ini. Namun sekarang tidak banyak lagi guru yang mengajar karena tidak adanya kesejahteraan, serta banyak yang kembali ke kampung halamannya. "Dulu kami berkebun jeruk di sekitar pesantren, tapi sekarang tidak ada lagi, karena tidak ada modal," kata Ahmad.
Pesantren yang mendidik anak kurang mampu ini, mengajarkan ilmu agama dan keahlaian lainnya untuk bertahan hidup, membutuhkan uluran tangan pemerintah dan masyarakat yang peduli pendidikan. Membangun ruangan belajar dan asrama santri. Karena keberadaan pesantren ini cukup terkenal di wilayah Kampar Kiri. Namun fasilitasnya kurang memadai. (Ihsanul Hadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar