Jumat, 24 Juli 2009

Catatan Tentang Tuanku Rao


Fakta tentang Tuanku Rao yang diungkapkan Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang berjudul Tuanku Rao. Tebal buku 691 halaman yang diterbitkan Penerbit Tanjung Pengharapan, banyak diragukan kebenarannya. Diantaranya, Gerakan Wahabi di Arab..Kolonel Haji Piobang dikirim Raja Abdullah bin Saud untuk menggegerkan Negara Darul Islam Minangkabau yang bermazhab Hambali tidak ada korelasi. Karena H Piobang pulang ke Minang sekitar tahun 1802 atau 1803. Sementara Raja Abdullah baru muncul di Mekkah tahun 1811.

Ketika seminar di Padang tentang sejarah Minangkabau Juli 1969, MO Parlindungan tidak mampu mempertahankan data dan fakta buku yang dikarangnya. Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi bukan orang Bakkara..J.B Neumann Kontelir B.B menulis tentang Studies over Bataks en Batakschelanden pada halaman 51 ketika menyebut bahwa Tuanku Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao, maka disebutnya bahwa Tuanku Rao ini berasal dari Padang Matinggi tidak disebut-sebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba

Menurut Mohammad Said dalam bukunya Si Singa Mangaraja XII hal 77-78, bahwa Tunaku Rao menikah dengan putri Yang Dipertuan Rao. Karena Yang Dipertuan bukan seorang penganut Wahabiah dan tidak begitu semangat untuk menentang agresi Belanda maka diambil alih oleh menantunya yang kemudian bergelar Tuanku Rao.

Perang Tuanku Rao di Air Bangis ditulis MO Parlindungan 5 September 1821…padahal Inggris menyerahkan Padang kepada Belanda pada Mei 1818 dan Perang Paderi baru dimulai pada April 1821 ketika pecah pertempuran di Sulit Air.

Untuk meluruskan sejarah Tuanku Rao, terutama sejarah Perang Paderi harus kembali diseminarkan dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten serta memiliki data yang akurat. Polemik yang terjadi tentang keraguan sejumlah kalangan terhadap kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai.

Ketika sejarah pahlawan nasional ini, sudah benar dan tidak ada komplain dari berbagai pihak. Munculnya buku Tuanku Rao karangan MO Parlindungan justru mengacaukan sejarah. Terutama berkenaan dengan sejarah minangkabau, tunku imam bonjol, tuanku Rao dan tuanku Tambusai.

Bahkan lebih jauh saya menilai, ada misi terselubung dari buku Tuanku Rao karangan MO Parlindungan tersebut. Celakanya, kalangan suku Batak justru menganggap data yang disajikan MO Parlindungan tersebut benar. Ini sama saja dengan membawa ego kedaerahan yang tidak akan selesai jika hanya saling membantah dan merasa paling benar.

Buku yang karang Buya Hamka berjudul antara fakta dan hayalan untuk membantah Buku Tuanku Rao karya MO Parlindungan tersebut saya rasa bias menjadi acuan bagi kaum muslimin. Baik suku Minang maupun suku Batak. Karena data dan fakta yang disajikan MO Parlindungan tentang sejarah Islam di tanah Arab dan di tanah air sangat menyesatkan.

Munculnya buku OM Parlindungan yang berjudul Tuanku Rao telah menimbulkan polemik di masyarakat Indonesia. Sejumlah pihak kembali mempertanyakan tentang pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional. Bahkan dari berbagai perdebatan dan polemic yang muncul di dunia maya, mengerucut pada pertikaian antar entnis, suku batak dan minang.

Jika terus diperdebatkan tidak akan mendapat jalan keluar yang tepat, karena masing-masing individu yang merasa bersentuhan dengan sejarang Paderi merasa benar dengan argumennya. Tidak bias dipungkiri, factor ego kedaerahan pasti muncul dalam menyikapi Buku Tuanku Rao karya OM Parlindungan tersebut.

Satu hal yang harus menjadi dasar berfikir bagi kita semua adalah, perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda sebelum tahun 1900-an bersifat kedaerahan, belum secara nasional. Hal ini disebabkan strategi adu domba yang dilakukan penjajah Belanda.

Semua kita pun pasti bias memahami sejarah bangsa ini, bahwa perjuangan secara nasional baru dimulai ketika dicetuskannya satu tekad untuk bersatu melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Itulah titik perjuangan anak bangsa yang benar-benar bersatu untuk mengusir penjajahan.

Jadi tidak etis juga bila kita mengungkit perjuangan tokoh-tokoh daerah yang kemudian ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Karena jelas tujuan mereka adalah untuk mengusir penjajahan. Meskipun dilakukan dalam kawasan yang lebih kecil. Tidak juga dapat dipungkiri dalam perjuangan di daerah tersebut, terdapat beberapa kelompok yang tidak mendukung perjuangan dan justru bekerjasama dengan penjajah.

1 komentar:

  1. Sejarah patut dikaji ulang, kalau memang ada pertentangan yang tujuannya untuk meluruskan sejarah tersebut sehingga tidak membingungkan anak cucu kita. Salam kenal dengan pajarao, saya juga merupakan anak rao yang sekarang berdomisili di Batam.

    BalasHapus